Senin, 22 Agustus 2011

FW: I'tikaf On lIne: Tawadhu' (Plus Qanaah & Wara')

 

1.      TAWADHU’

Sudah masuk hari ke 22. Sudahkah mencicipi lezatnya taqwa (the ultimate goal of shaum Ramadhan). Ulama sufi mengurai 3 unsur huruf pembentuk TAQWA (T=Tawadhu”, Q=Qanaah dan W= Wara’). Jika ditanya, “Mana hadits shahihnya”, dipastikan saya tidak bisa menyodorkannya. Tentunya dibuang sayang  warisan hasanah keilmuan ini; yang dapat memperhalus budi pekerti, memperindah dan menyirami amaliah yang bisa jadi kering kerontang lantaran hanya ditakar dengan pendekatan formil-fiqiyah semata. Baiklah, kita mengaji yang satu dulu, Tawadlu’

Ibnu Taimiyah memahami tawadhu’ sebagai menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar menjadi hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.

Ibnu Qayyim Al-Jauzi lebih jauh mengurai, salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Seiring bertambah usianya, maka berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.

Al-Ghazali dan Abdul Qadir Jaelani mendifiniskan tawadhu’ sebagai, ketika melihat hamba Allah selalulah memiliki nilai lebih dibanding dirinya. Fokusnya adalah Allah Sang Maha Paripurna, selainnya nisbi. Bahwa semua karunia dan kenikmatan bersumber dari Allah SWT.  Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.

Ketika bersua dengan yang lebih muda benaknya berbisik, ia lebih mulia karena lebih sedikit dosanya. Sebaliknya yang lebih tua juga dianggapnya lebih mulia karena telah lebih lama ibadahnya. Ia menghormati orang bodoh, karena dosanya dilakukan karena ketidaktahuan, sedang ia berdosa justru dengan ilmunya. Sebailknya ia juga hormat kepada ilmuan, karena amalnya lebih mulia, ada rujukan ilmunya.

Bila bergaul dengan orang miskin, ia iri oleh cepatnya hisab di alam masyhar kelak (Nabi Sulaiman AS adalah nabi yang paling akhir masuk surga karena hisabnya paling lama). Sebaliknya ia juga iri kepada kedermawanan orang kaya. Kepada pendosa pun ia tidak pernah mencela. Karena boleh jadi Allah SWT kelak memberi hidayah meraih husnul khatimah. Sedangkan ia tidak memiliki jaminan apapun untuk taat sampai akhir hayat. Innamal a’malu bi khawatimiha

Bolehkah kita merasa diri sudah tawadhu’? Ibnu Athaillah (Al-Hikam) wanti-wanti. Sesiapa yang merasa diri sudah mencapai maqam tawadhu’, maka saat itu ia sungguh-sungguh sedang sombong (mutakabbiran haqqan). Tawadhu’ adalah jalan hidup, arah, sekaligus tujuan yang harus dirangkaki dengan mujahadah. Tetapi kita tidak boleh sekalipun merasa telah sampai tujuan.

Wallahu a’lam bish shawab.

2. QANAAH

Nrimo ing pandum artinya merasa cukup, ridha atau puas atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang. Selalu sangka baik, husnudldlan atas apapun, berapapun karuniaNYA mengiringi ikhtiar keras untuk mengais bekal hidup. Bahkan, ketiadaan selainNYA adalah hakekat hidupnya, asalkan DIA terus memeluknya (laa ilaaha illallah). Qanaah adalah buah dari kedalaman ma’rifat akan Ke-Maha Sempurnaan Allah SWT, Sang pemilik Asmaulhusna. Apapun produk dan pemberianNya tidak pernah catat.Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathiir: 2)

Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa adem ayem dalam hidup dan terjauhkan dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW bersabda, sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim). Qanaah adalah kaya hakiki, “Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

3. WARA

Ati-ati lan nastiti. Para sufi mendefinisikan wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjatuh ke dalam yang haram (Al-Jurjani di dalam At-Ta’rîfât). Meninggalkan apa saja yang ditakutkan bahayanya di akhirat (Ibnul Qayim di dalam Madârij as-Sâlikîn). Wara’ dari apa-apa yang ditakutkan akibatnya (di akhirat), yaitu apa-apa yang telah jelas keharamannya dan dari apa saja yang masih diragukan keharamannya dan jika ditinggalkan tidak menimbulkan mafsadat (bahaya) yang lebih besar daripada bila dilakukan (Ibn Taimiyah). Meninggalkan apa-apa yang meragukanmu, menghilangkan apa saja yang bisa mendatangkan aib bagimu, mengambil yang lebih dipercaya (diyakini) dan membawa diri pada yang paling hati-hati (Shalih bin Munjid).

Al-Ghazali mengenalkan wara’ ash-shiddiqîn, yaitu meninggalkan hal mubah yang tidak bermanfaat dalam menguatkan ibadah atau ketaatan. Muslim yang memiliki wara’ pada tingkatan ini akan selalu bertanya pada dirinya sendiri, “Adakah manfaat bagiku untuk menguatkan ibadah, melakukan ketaatan dan meningkatkan taqarrub kepada Allah jika aku mengkonsumsi, menggunakan atau melakukan hal mubah ini?” Jika tidak ada, hal mubah itu pun ia tinggalkan.

Rasul SAW tidak mau tidur menggunakan alas yang empuk dan lebih memilih tidur beralaskan tikar tipis agar mudah bangun untuk shalat malam. Atau sikap orang yang sedikit makan, menghindari makanan yang dapat menyebabkan kegemukan, kolesterol tinggi dan gangguan kesehatan lainnya, walaupun halal. Agar ia tetap sehat sehingga bisa melakukan ketaatan dengan baik. Atau Kyai Kampung yang menghindar jajan di warung sedapat mungkin, walau membayarnya dari kocek sendiri yang halal. Karena baginya itu aib dan tidak yakin betul sumber materi dan processing jajanan. Setiap yang masuk ke dalam perutnya akan menembus dinding sel-sel di sekujur tubuh. Dan syetan berselancar ria melalui media makanan yang haram (fisik dan non-fisik). Korupsi?

Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqîn hingga ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermasalah karena takut terhadap apa-apa yang bermasalah (HR Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).

Wallahu a’lam bish shawab

 

***** This message may contain confidential and/or privileged information. If you are not the addressee or authorized to receive this for the addressee, you must not use, copy, disclose or take any action based on this message or any information herein. If you have received this communication in error, please notify us immediately by responding to this email and then delete it from your system. PT Pertamina (Persero) is neither liable for the proper and complete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar